Beranda | Artikel
Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 5)
Jumat, 17 Juni 2022

Baca pembahasan sebelumnya Fikih Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (Bag. 4)

Ketulusan doa Sang Imam

Di dalam risalahnya, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga menunjukkan sifat dan sikap yang begitu bijaksana di dalam berdakwah. Beliau sering mendoakan kebaikan bagi orang yang membaca bukunya.

Beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu…” Di kesempatan lain beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah memberikan bimbingan-Nya untukmu untuk taat kepada-Nya…” Memadukan antara taklim dengan doa. Menggabungkan antara upaya mendidik manusia dengan ketergantungan hati kepada Allah dan doa kepada-Nya.

Tentu ini adalah sebuah keistimewaan dan keutamaan pada diri beliau dan dakwahnya. Barangkali berbeda dengan keadaan sebagian da’i atau juru dakwah di masa kini, yang banyak menulis atau berceramah, namun sangat jarang mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang dia dakwahi. Seolah-olah dia menyandarkan keberhasilan dakwahnya kepada kerja keras dan usahanya, bukan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Padahal hati anak adam semuanya berada di antara jari-jemari-Nya, Allah akan membolak-balikkan hati mereka bagaimana pun yang dikehendaki-Nya.

Inilah doa yang beliau torehkan di bagian awal risalah Al-Qawa’id Al-Arba’, “Aku memohon kepada Allah Yang Mahamulia, Rabb Pemilik ‘arsy yang agung, semoga Allah menjadi pelindung bagimu di dunia dan di akhirat. Dan semoga Allah menjadikan Engkau diberkahi di mana pun kamu berada. Semoga Allah menjadikanmu sebagai orang yang bersyukur apabila diberi nikmat, bersabar apabila diberikan cobaan, dan beristigfar apabila melakukan dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini adalah pertanda kebahagiaan.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’ oleh Ibnu Baz, hal. 8)

Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Penulis -rahimahullah- menggabungkan di dalam risalah ini antara memberikan faidah dan mendoakan kebaikan bagi penimba ilmu. Hal ini termasuk salah satu bentuk nasihat atau menginginkan kebaikan bagi sesama … ” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’ oleh beliau, hal. 8)

Apa yang dilakukan oleh beliau itu merupakan cerminan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Baca Juga: Ngaji Aqidah Sampai Kapan?

Demikian juga, hal ini merupakan bagian dari penerapan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Agama ini adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa saja, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan orang-orang umum (rakyat) di antara mereka.” (HR. Muslim dari Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu ‘anhu)

Doa yang beliau panjatkan mencerminkan keinginan baik beliau kepada seluruh pembaca. Beliau menginginkan agar mereka mendapatkan perlindungan dari Allah di dunia dan di akhirat. Beliau menginginkan agar mereka mendatangkan banyak kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain di mana pun mereka berada. Beliau menginginkan agar mereka menjadi orang yang pandai bersyukur, sabar ketika menghadapi musibah, dan senantiasa bertaubat dan beristigfar atas dosa yang telah dilakukan.

Doa serupa juga telah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bagian awal kitab beliau Al-Wabil Ash-Shayyib. Beliau berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala tempat memohon dan berharap demi terkabulnya doa. Semoga Allah melindungi Anda di dunia dan di akhirat. Dan semoga Allah curahkan kepada Anda nikmat-nikmat-Nya yang lahir maupun yang batin. Dan semoga Allah menjadikan Anda, termasuk orang-orang yang apabila diberikan nikmat oleh Allah, kemudian bersyukur; apabila diberi cobaan, maka bersabar; dan apabila berbuat dosa, maka beristigfar. Karena sesungguhnya ketiga perkara ini adalah simbol kebahagiaan hamba dan tanda keberuntungan dirinya di dunia dan di akhirat … ” (lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, hal. 5)

Demikianlah keadaan umat manusia. Mereka hidup di dunia dan akan berpindah menuju akhirat. Sementara mereka selalu membutuhkan pertolongan dan perlindungan dari Allah dari segala keburukan. Mereka sangat butuh terhadap bimbingan Allah agar bisa meraih kebaikan dan mengelak dari kejahatan. Mereka butuh kepada Allah untuk melimpahkan kebaikan-kebaikan ke dalam kehidupannya, di mana pun mereka berada.

Mereka butuh kepada Allah untuk bisa mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Oleh sebab itu, di antara doa yang diajarkan kepada kita adalah ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik’. Artinya, “Ya Allah, bantulah aku dalam berzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” Hal ini jelas menunjukkan kepada kita betapa fakirnya kita di hadapan Allah karena untuk bersyukur saja kita butuh kepada pertolongan dan bantuan dari-Nya. Demikian pula untuk berzikir dan beribadah, itu semua membutuhkan pertolongan Allah.

Oleh sebab itu, setiap hari kita mengikrarkan di dalam salat kita, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’. Artinya adalah “Hanya kepada-Mu, kami beribadah. Dan hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan.” Para ulama kita menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah tidak boleh beribadah, kecuali kepada Allah, dan tidaklah menjadi tujuan tawakal, kecuali kepada-Nya semata. Oleh sebab itu, kedua perkara ini (ibadah dan tawakal) sering disebutkan secara beriringan di dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan pula, bahwa tidak mungkin seorang bisa beribadah kepada Allah tanpa pertolongan dari-Nya.

Demikianlah keadaan salafus shalih, mereka menyadari bahwa kebaikan bukan di tangan mereka, akan tetapi di tangan Allah. Hidayah, ketaatan, amal saleh, kesabaran, keistikamahan, dan keikhlasan, semuanya hanya bisa terwujud berkat taufik dan pertolongan Allah semata, bukan hasil jerih payah atau kerja keras seorang hamba semata.

Mutharrif bin Abdillah bin Asy-Syikhkhir rahimahullah berkata, “Seandainya kebaikan ada di telapak tangan salah seorang dari kita, niscaya dia tidak akan sanggup menuangkan kebaikan itu ke dalam hatinya, kecuali apabila Allah ‘azza wa jalla yang menuangkannya ke dalam hatinya.” (lihat Aqwal Tabi’in fi Masa’il At-Tauhid wa al-Iman, 1: 131)

Oleh sebab itulah, kita senantiasa butuh kepada Allah, agar Allah berikan kepada kita kekuatan dan kehendak untuk terus bersyukur, untuk bersabar menghadapi cobaan demi cobaan, dan agar bisa selalu memohon ampunan tatkala melakukan dosa dan kemaksiatan.

Hanya Allah lah yang menjadi tumpuan harapan. Dan demikianlah sekilas faidah yang bisa kami sampaikan di sini, tentu saja semua ini dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat.

Baca Juga:

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/75621-fikih-dakwah-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-5.html